Home » Tanya Dhamma

Bhikkhu dan Makanan Daging

11 April 2005 No Comment
Langsung saja. Seperti informasi yang saya terima bahwa seorang bhikkhu tidak boleh memakan makanan yang berjiwa. Yang saya tanyakan bagaimana jika bhikkhu itu sakit dan memerlukan hewan untuk pengobatan apa yang harus dia lakukan dan dalam Agama Buddha apakah jiwa binatang lebih penting atau jiwa manusia saya jadi bingung. Jika ada seekor binatang dan seorang manusia jatuh ke jurang dan ada seorang penolong yg hanya bisa menolong salah satu apa yg harus dilakukannya? Bisakah Anda memberi pengertian yg jelas tentang the heart of sutra yang mengatakan semua adalah kosong? Tolong Anda memberi jawaban. Terima kasih.

Alexander, Melbourne, Australia

Jawaban dari Y.M. Bhikkhu Suguno:

Saudara Alexander yang baik,

Pertama-tama saya minta maaf, dikarenakan kerusakan pada komputer kami dan beberapa tugas yang harus kami emban, terpaksa jawaban saudara telah tertunda beberapa lama. Mengenai permasalahan tentang makan barang berjiwa, terus terang semua bhikkhu dan umatpun tidak boleh makan makanan yang berjiwa. Menurut pengertian saya, makanan berjiwa adalah makanan yang mengandung atau memiliki jiwa atau dengan kata lain yang hidup. Jadi, makanan berjiwa adalah makanan yang masih hidup, seperti tokek, kadal, dsb. Dalam hal ini berbeda dengan makanan misalnya daging sapi, kerbau dan sebagainya. Pada prinsipnya apa saja yang masih hidup, selain tumbuh-tumbuhan, tidak diperbolehkan untuk dimakan. Namun jika Anda menanyakan tentang masalah vegetarian atau non-vegetarian, saya akan sedikit memberikan gambaran.

Menurut Agama Buddha, pada prinsipnya kesucian seseorang tidaklah tergantung pada apa yang dia makan, tetapi tergantung pada bagaimana dia dapat mengerti, memahami serta menembus ajaran-ajaran Sang Buddha. Atau dia sudah dapat melenyapkan semua karakteristik atau nafsu-nafsu duniawi yang ada pada dirinya, seperti nafsu serakah, benci, marah, dengki, iri hati dan sebagainya. Secara singkat, makanan berfungsi untuk mengganti sel-sel yang perlu diganti dalam jaringan tubuh kita, sehingga hidup, secara fisik dapat dipertahankan. Jadi bukan sebaliknya, jika kita terlalu tertikat pada makanan, maka hal yang demikian akan menghambat bathin kita untuk memperoleh kemajuan. Suatu contoh jika ada seseorang yang memakan hanya tumbuh-tumbuhan, dan dengan cara hidup tersebut dia jadi baik, dapat melakukan meditasi dengan baik, mengurangi kemelekatan dan sebagainya, maka hal tersebut perlu ditiru dan dapat dijadikan gambaran bahwa hal itu patut untuk dilakukan. Tetapi jika dengan cara hidup tersebut, dia malah bertambah sombong, misalnya mengganggap dirinya lebih baik dengan yang lain, merendahkan orang lain, kemelekatan terhadap makanan bertambah, nafsu keserakahannya bertambah dan sebagainya, maka jelas cara hidup tersebut tidak baik dan tidak akan membawa kepada pembebasan. Saya akan memberi sedikit gambaran orang-orang yang menjalankan vegetarian menjadi baik, dan sebaliknya. Mahatma Gandhi adalah orang yang menjalankan vegetarian, meskipun sewaktu dia berada di England dia melakukan tindakan yang flexible. Dengan cara hidup yang demikian dia dapat merasakan lebih banyak tentang penderitaan mahkluk lain, sehingga membuatnya menjadi baik. Tetapi hal tersebut bukanlah suatu jaminan, misalnya Hitler, seorang pemimpin Nazi, Jerman dalam perang dunia kedua. Dia adalah seorang yang telah menjalankan vegetarian, tetapi dia juga menyebabkan ratusan atau ribuan orang Yahudi terbunuh atau dia adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam pembunuhan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang menjadi baik atau tidak baik, suci atau tidak suci bukanlah tergantung pada makanan, tetapi tergantung dari pikiran dan attitude kita terhadap sesuatu hal.

Dalam hubungannya dengan makan daging, seorang bhikkhu dapat diperkenankan makan daging dengan empat syarat utama, yaitu dia sendiri tidak membunuh, melihat binatang tersebut dibunuh, dia tidak mendengar bahwa binatang tersebut dibunuh, dan tidak merasa ragu-ragu atas pikiran bahwa daging yang dipersembahkan tersebut dibunuh khusus diperuntukkan untuknya. Jika hal tersebut tidak ada dalam diri seorang bhikkhu, maka hal tersebut dapat dilakukan, tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka sebaiknya ditinggalkan oleh seorang bhikkhu. Memang mengenai beberapa macam daging sebaiknya dihindari oleh seorang bhikkhu, seperti daging kucing, harimau, ular dan sebagainya. Para bhikkhu seharusnya berpikir bahwa makanan yang mereka makan berfungsi untuk menopang cara hidup suci (brahmacariya) dan tidak sebaliknya. Menurut hemat saya, jika ada orang yang mengatakan bahwa Sang Buddha melarang untuk makan daging, hal tersebut, tentunya perlu dipikirkan lagi, apakah sutra atau prinsip tersebut hanya spekulasi pribadi atau sebaliknya. Menurut hemat saya, Sang Buddha tidak melarang untuk makan daging. Adapun anjuran sang Buddha yang ada adalah untuk tidak membunuh.

Kita ambil contoh saja tentang cerita Jataka yang secara singkat menceritakan ada sekelompok orang yang kelaparan yang telah ditolong oleh bodhisatva sewaktu beliau menjadi seekor gajah. Pada waktu itu sekelompok masyarakat tersebut terbagi dua dalam pendapat tentang apakah sebaiknya daging gajah yang memang daging gajah dari bodhisatva yang telah banyak menolongnya. Sebaliknya pimpinan mereka mengatakan, jika daging gajah bodhisatva ini tidak dimakan, maka pengorbanan bodhisatva untuk kita akan sia-sia belaka. Maka mereka memutuskan untuk makan daging gajah tersebut, yang mana hal tersebut sesuai dengan pemikiran Buddhist.

Tentang paham tidak makan daging sebenarnya berkembang dari ajaran Buddha yang mengajarkan tentang cinta kasih. Hal ini terutama dikembangkan dan dipraktikkan secara meluas setelah Agama Buddha menyebar ke China. Dikarenakan adanya pengaruh dari tradisi setempat, maka paham untuk tidak makan daging menjadi kuat. Tetapi menurut hemat saya, hal tersebut bukanlah suatu hal yang prinsip.Sekarang terserah kepada diri pribadi masing-masing, jika dengan tidak makan daging akan mengurangi kemelekatan terhadap makanan, bertambah sehat, dan dapat melakukan meditasi dengan baik, maka hal tersebut patut untuk dilakukan dan dikembangkan. Tetapi jika sebaliknya, maka hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan.

Tentang mana yang lebih penting jiwa binatang atau juwa manusia. Hal ini tentunya memerlukan penganalisaan lebih lanjut. Jika ada seorang yang pekerjaannya mencuri, merampok, memperkosa, membunuh, dan ada seekor anjing yang suka menolong anjing yang lain, serta manusia, maka nilai anjing lebih berharga atau lebih besar. Tetapi pada prinsipnya jiwa manusia lebih berharga daripada jiwa binatang. Dalam vinaya atau peraturan para bhikkhu sendiri, jika seorang bhikkhu membunuh seekor binatang, dia masih dapat melanjutkan kebhikkhuannya, sebaiknya jika dia membunuh seorang manusia, maka dia harus keluar dari kebhikkhuannya. Cukup sekian, semoga Anda dapat memperoleh gambaran yang sebenarnya.

Mengenai isi dari The heart of the sutra adalah kekosongan, tolong Anda perjelas bagian yang mana yang harus dibahas. Sebab isi dari ajaran Madhyamika, Nagarjuna yang intinya adalah Sunyata ‘emptiness‘ menyangkut beberapa aspek. Terima kasih. Mudah-mudahan lain kali dapat kita sambung lagi.

Sukhi ca arogyo bhavatu!

Comments are closed.