Siasat Menolak Ajakan ‘Persekutuan’
Langsung saja ya. Saya punya problem. Bagaimana menolak ajakan ikut “persekutuan” dari “tetangga” satu kantor? Terima kasih.
Viryadevi, Surabaya
Namo Buddhaya,
Saudari Viryadevi yang baik, pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang telah diajukan. Memang pada kenyataannya cukup sulit untuk menolak ajakan teman untuk melaksanakan persekutuan, apalagi yang mengajak adalah teman sekantor sendiri. Tetapi selama ada kemauan, tentunya ada jalan keluarnya (when there is a will there is a way, isn’t it?).
Seperti yang telah dilakukan oleh Pertapa Siddhatta sendiri sebelum menjadi seorang Buddha, Beliau dengan disemangati oleh kemauan serta semangat yang kuat, akhirnya Beliau menemukan jalan untuk mencapai pembebasan dari cengkeraman samsara yang mencengkeram kehidupan ini secara berulang-ulang.
Sebenarnya dalam menjalankan kehidupan kemasyarakatan, terdapat berbagai macam aturan dan norma-norma yang harus kita jalankan, termasuk norma-norma pergaulan itu sendiri. Sering terjadi jika norma-norma atau aturan-aturan tersebut dilanggar, maka yang terjadi adalah ketidak-harmonisan dalam hubungan dalam kemasyarakatan tersebut. Suatu contoh yang nyata dapat kita lihat pada kasus adik sendiri. Dalam hal ini jelas terlihat bahwa adik sudah memiliki keyakinan pada agama yang adik peluk, sedangkan teman-teman adik mengajak untuk melakukan ‘persekutuan’ sesuai dengan keyakinan mereka. Hal ini jelas terlihat keagresifan atau pemaksaan suatu keyakinan atau agama kepada orang lain dan secara singkat boleh dikatakan melanggar hak kebebasan memeluk suatu agama, yang merupakan kebebasan yang asasi.
Sebenarnya pelanggaran hak asasi yang demikian banyak terjadi di kalangan orang-orang timur, tidak seperti halnya di dunia barat yang memeng pada kenyataannya terdapat kebebasan untuk menentukan dan memilih suatu agama yang diyakininya tanpa adanya tekanan atau paksaan. Kebiasaan untuk memaksakan diri inilah yang membuat pertengkaran dan permusuhan antar pemeluk agama yang berbeda. Sehingga tidak jarang terjadi adanya pembakaran gereja, yang mana jika kita telusuri lebih lanjut, selain disebabkan oleh unsur perbedaan kesenjangan ekonomi dan perbedaan ras, hal yang sebenarnya dominan adalah unsur agama. Pekerjaan ‘door to door‘ untuk mengembangkan ajaran suatu agama seharusnya ditinggalkan dengan alasan sebenarnya memeluk atau meyakini suatu agama merupakan suatu kebebasan yang tidak boleh dipaksakan.
Dengan beberapa alasan diatas, maka bisa dilihat bahwa adik sudah memiliki dan meyakini suatu agama dan seandainya ada beberapa teman yang mengajak untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan ritual dari agama lain, maka adik mempunyai hak untuk menolaknya. Namun seperti yang adik alami, hal ini cukup sulit untuk dilakukan. Tentunya way-out-nya tidak hanya satu. Anda dapat memberi tahu pada beberapa teman adik bahwa sebenarnya adik sudah memiliki suatu agama dan menyatakan terima kasih atas ajakan yang telah dilakukan dan berharap semoga usaha yang mereka lakukan berhasil.
Jika hal ini sudah dilakukan berulang-ulang dan hasilnya masih terima ajakan yang sama, maka kita mempunyai hak untuk melakukan tindakan yang lebih keras, misalnya dengan jalan memberi pengertian bahwa tindakan pemaksaan untuk melakukan suatu ibadah agama yang berbeda adalah suatu pemerkosaan terhadap hak seseorang untuk beragama. Sebenarnya tindakan untuk mengkrestenkan atau mengislamkan seseorang dengan jalan paksaan, akan menimbulkan berbagai keresahan dan pertikaian serta permusuhan.
Dalam kitab Ambalatthikarahulovada Sutta, Sang Buddha pernah bersabda bahwa jika suatu tindakan atau perbuatan jika dilakukan tidak menyakiti dirinya sendiri (na atta vyabhadaya samvatati), tidak membawa orang lain tidak senang (na paravyabhadaya samvatati) dan tidak merugikan kedua belah pihak (naubhayavyabhadaya samvattati), maka tindakan tersebut adalah tindakan yang benar dan sebaliknya.
Sebenarnya permasalahan yang adik alami mirip dengan permasalah yang pernah dihadapi oleh Bhante Sabbakami, yang mana beliau meskipun telah diberi iming-iming (janji-janji) yang cukup besar asalkan dia mau mengikuti praktik dari kaum Vajji, beliau menyatakan terima kasih atas ajakan dan iming-iming tersebut dan tetap berpegang teguh kepada kebenaran. Demikian juga adik sebaiknya juga dapat menolak ajakan tersebut dengan mengucapkan terima kasih dan harus berpegang teguh pada Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Jadi Anda harus memiliki viriya (semangat), seperti semangat yang dimiliki oleh seorang devi.
Cukup sekian dulu, semoga Anda selalu memperoleh keberhasilan dan kesuksesan, serta selalu maju dalam Dhamma.
Sukhi ca arogyo bhavatu ca ciram jivatu’ti!