Home » Tanya Dhamma

Bagaimana ‘Sang Objek’ Menerima Pelimpahan Jasa?

29 September 2005 No Comment

Saya ingin menanyakan tentang pelimpahan jasa. Jika kita melakukan perbuatan baik, kemudian melimpahkan jasa dengan membaca paritta dalam hati dan menyebut nama si almarhum, bagaimana si almarhum bisa tahu bahwa kita melakukan pelimpahan jasa untuknya? Juga bagaimana jika ia semasa hidupnya tidak megerti tentang paritta yang saya bacakan itu atau tentang pelimpahan jasa itu sendiri?

Ersy, Jakarta Barat

Jawaban dari Y.M. Bhikkhu Uttamo:

Namo Buddhaya,
Apabila almarhum terlahir di alam paradatupajivika peta, maka ia akan bisa menerima pelimpahan jasa yang dikirimkan. Penerimaan ini tidak tergantung dengan bahasa yang kita gunakan maupun cara mengespresikan, baik diucapkan di dalam hati maupun diucapkan keras-keras. Karena dalam ‘komunikasi’ semacam ini, mahluk tersebut lebih mementingkan ‘gelombang pikiran’ yang berisikan niat baik kita daripada cara maupun bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran tersebut.

Jawaban dari Selamat Rodjali:

Namo Buddhaya,
Almarhum belum tentu mengetahui perbuatan kita. Ini sepenuhnya tergantung Almarhum, di alam apa dia tumimbal lahir dan di mana serta sebagai mahluk apa. Bila almarhum tumimbal lahir sebagai binatang, mahluk neraka, nijjhamatanhika peta, manusia yang tidak ingat kehidupan lampaunya, mahluk asannasatta, arupa brahma, maka ia tidak akan tahu bahwa pelimpahan jasa itu ditujukan untuknya.

Prinsip pelimpahan jasa sebenarnya prinsip batin. Mirip seperti seorang dewasa melihat seorang anak kecil menyeberangkan seorang nenek-nenek (anggaplah ketiganya berbahasa yang berbeda). Orang dewasa itu terinspirasi perbuatan baik anak itu sehingga muncul mudita citta (pikiran simpati atas kebaikan mahluk lain). Mudita citta orang dewasa ini akan mengkondisikan kebahagiaan baginya. Di dalam perumpamaan ini, bisa saja ada kasus di mana orang dewasa yang melihat tindakan anak kecil itu tidak muncul mudita cittanya. Untuk kasus ini, orang dewasa itu tidak mendapatkan manfaat apapun.

Ada kasus lain, di mana orang dewasa itu mungkin saja malah menunjukkan sikap sinis karena tak mengerti tindakan anak kecil itu. Untuk kasus ini, justru pikiran buruk (akusala citta) yang muncul. Akusala citta ini malah mengkondisikan penderitaan baginya. Dari ketiga kasus di atas, perbuatan anak kecil itu tetap perbuatan baik (kusala kamma) yang akan membawa akibat baik tersendiri baginya, tak peduli orang dewasa itu mendapatkan manfaat ataukah tidak. Jadi bagi umat Buddha, pelimpahan jasa seyogyanya tetap dilakukan, karena minimal akan membawa manfaat bagi dirinya sendiri. Dan jenis pelimpahan jasa yang dilakukan akan lebih efektif jika merupakan pengulangan perbuatan baik yang pernah atau sering dilakukan oleh almarhum ketika masih hidup.

Comments are closed.