PATRIA Gagal di Pandegiling
Untuk kesekian kalinya, PATRIA (Pemuda Theravada Indonesia) -khususnya cabang Jatim- harus mengakui kegagalannya dalam menerapkan keinginannya, terutama untuk mengajak bergabung Dayaka Sabha Cetiya Karuna Dipa dan Pemuda Vijja Kumara, Surabaya. Cetiya Karuna Dipa juga dikenal dengan Cetiya Pandegiling, karena terletak di jln. Pandegiling, Surabaya.
Di akhir presentasinya di Dhammasala Cetiya Karuna Dipa yang diadakan pada 15 Maret 1998, Guandi Soegiwiyono sebagai Wakil Ketua PATRIA DPD Jawa Timur mengatakan, “Dengan ini kami memutuskan tidak akan membuka cabang PATRIA untuk Cetiya Karuna Dipa dalam jangka waktu yang tidak terbatas hingga kami menerima surat permohonan dari Cetiya Karuna Dipa.” Dengan didampingi oleh Yudha Wibisono (Ketua DPD Jatim), dia juga menambahkan, “Selama itu pula kami akan menghentikan seluruh kegiatan kami di Cetiya ini.”
Presentasi PATRIA pada hari itu dilakukan seusai para umat melaksanakan Puja Bhakti. Dibuka oleh dr. Arya Tjahjadi, DSA selaku Ketua Yayasan Dhammadipa Arama cabang Surabaya, presentasi itu berjalan cukup seru. Terutama setelah Yudha Wibisono selesai menjelaskan tentang PATRIA dan melangkah masuk ke sesi tanya jawab. Dalam sesi tersebut, pihak Dayaka Sabha dan Pemuda Vijja Kumara cukup sering mengajukan sejumlah pertanyaan kritis seputar PATRIA, baik itu berupa tujuan, kegiatan, dan programnya, terutama yang ada di Jawa Timur.
Saat itu, terlihat pihak PATRIA sering cukup kelabakan sehingga beberapa kali Ketua Yayasan harus ikut menjelaskan. Beberapa penjelasan yang diberikan oleh PATRIA pun terkesan kurang konsisten. Mengenai keharusan masuk tidaknya organisasi pemuda ke dalam PATRIA, misalnya. Pada awalnya Guandi mengatakan bahwa sebaiknya seluruh organisasi pemuda Buddhis mazhab Theravada menerima dan masuk dulu dalam PATRIA, tetapi kemudian belakangan dikatakan olehnya keinginan bergabung dengan PATRIA terserah kepada masing-masing pihak, tidak ada paksaan. Pernyataan itu kemudian malah disambung oleh dr. Arya Tjahjadi, DSA yang berada di sampingnya. “Bagaimanapun pemuda di Cetiya ini harus bergabung dengan Patria. Apalagi saya sebagai salah satu pemrakarsa berdirinya PATRIA,” katanya. (?)
Hal lain yang cukup menyedihkan adalah sikap Guandi yang dalam menjawab pertanyaan sering menyebut-nyebut Sanghanayaka STI dan Ketua Magabudhi sebagai pihak yang merestui berdirinya Patria. Hmm…
Yang menarik, presentasi PATRIA tersebut ternyata tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Setidaknya begitulah menurut keterangan pihak Pemuda Vijja Kumara dan Dayaka Sabha selaku pengelola Cetiya Karuna Dipa. Diakui juga oleh PATRIA bahwa mereka memang cuma minta izin kepada pihak yayasan, tepatnya dr. Arya. Yang disesalkan oleh Dayaka, dengan adanya presentasi dadakan semacam itu membuat para umat yang seharusnya tidak perlu mendengarkan menjadi terpaksa harus ikut. Misalnya, para orang tua. Hal ini dikarenakan presentasi itu dilakukan seusai Puja Bhakti.
Sedikit menengok ke belakang, sebenarnya kegagalan PATRIA ini merupakan yang kesekian kalinya. Sejumlah organisasi pemuda vihara menolak keras bergabung dengan mereka. Di Malang, misalnya. Di kota apel ini, PATRIA juga mendapat reaksi keras ketika menawari organisasi pemuda setempat. Yang memprihatinkan, seperti di Surabaya, mereka sempat pula mendekati Bhikkhu dan Romo setempat untuk ‘membujuk’ para aktivis Buddhis yang menolak mereka. Rupanya, cara itu tetap gagal. Belakangan terdengar akhirnya mereka mengangkat Dayaka Sabha Vihara setempat untuk menjadi PATRIA DPC Malang.
Dari Yogyakarta, terdengar berita yang kurang lebih sama. Akhirnya pihak PATRIA cuma berhasil membuka cabang di pinggiran kota.
Menurut sebagian besar pihak yang dihubungi, tujuan PATRIA atau Pemuda Theravada Indonesia yang ingin mempersatukan para pemuda Buddhis mazhab Theravada itu sebenarnya sudah bagus. Cuma ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Salah satunya adalah cara yang dilakukan. Pada umumnya sikap PATRIA yang ingin agar organisasi yang sudah bergabung menambahkan kata PATRIA di depan nama organisasi, membuat orang merasa PATRIA memang ingin mencaplok dan arogan. Juga sikap yang menekan organisasi yang bersangkutan melalui para sesepuh, bukannya mendekati secara baik-baik. Apalagi, menurut mereka, PATRIA yang merupakan ‘reinkarnasi’ dari PBI (Pemuda Buddha Dhamma Indonesia) sebenarnya didirikan untuk mewakili pemuda agama Buddha Indonesia di kancah internasional tetapi mengapa malah ngotot mengubek-ngubek organisasi pemuda di daerah.
Banyak yang berharap semoga pihak-pihak yang terkait dengan PATRIA, baik pengurusnya maupun para pencetus ide agar melakukan evaluasi ke dalam. Dan bukannya menghakimi atau mencerca mereka yang menolak PATRIA. Mari kita menunggu dan menilai bersama-sama secara objektif.