Home » Tanya Dhamma

Relik, Benarkah Ada atau Suatu Penipuan?

11 April 2005 No Comment
Saya ingin bertanya, dalam pembakaran zenazah orang2 tertentu katanya ditemukan sa-li-che, seperti biji-biji gundu. Kata teman, jenazah yang dibakar terdapat sa-li-che berarti orangnya sudah suci. Saya tidak percaya kesucian semata-mata diukur dari apa yang tersisa ketika jenazah seseorang dibakar. Menurut saya, sa-li-che adalah batu ginjal yang tidak habis terbakar, atau merupakan suatu penipuan dengan cara menaburkan biji-biji tertentu sebelum seseorang dikremasi, agar orang lain percaya bahwa orang yang terdapat sa-li-che telah suci. Apa isi relik dari kremasi jenazah Sang Buddha? Apakah hanya terdapat abu dan gigi-Nya saja? Ataukah pada relik Sang Buddha juga ditemukan sa-li-che ini?

Frans Mulyadi, Singapura

Jawaban dari Y.M. Bhikkhu Suguno:

Namo Buddhaya,

Pertama-tama kami minta maaf atas keterlambatan dalam menjawab pertanyaan Saudara. Karena beberapa tugas yang harus kami selesaikan dalam beberapa minggu terahkir ini, maka kami baru bisa memberi jawaban kepada Sdr. Frans hari ini. Berkenaan dengan masalah ‘sa-li-che’ atau sisa pembakaran yang dianggap suci atau keramat oleh beberapa orang, tentunya memerlukan penganalisaan dan pengertian yang cukup luas jika dikaitkan dengan ajaran Agama Buddha. Saya cukup salut atas pemikiran dan penganalisaan Saudara tentang masalah ‘sa-li-che’. Tentunya pemikiran yang demikian cukup bagus dan membuat orang maju, dengan catatan Anda tidak terus tidak percaya tentang sesuatu. Namun, jika keragu-raguan tentang sesuatu dijadikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan kebenaran atau sebagai suatu alat untuk membuktikan kebenaran, maka keragu-raguan yang demikian akan membuat orang maju. Seperti juga dengan Pertapa Gotama sendiri, Beliau tidak mudah dan gampang percaya tentang sesuatu yang dianggap oleh masyarakat benar. Tetapi Beliau bukan berarti tidak percaya, lebih tepat dikatakan belum percaya. Namun, hal yang demikian membuat-Nya menganalisa dan berpikiran progresif dengan melalui pembuktian-pembuktian spiritual. Sehingga Beliau dapat menemukan kebenaran sejati. Demikian juga dengan para scientist yang berhasil menemukan beberapa penemuan yang mengejutkan. Mereka semua berangkat dari keragu-raguan, sehingga setelah melalui beberapa pembuktian dapat menemukan sesuatu. Setelah melalui verifikasi, mereka baru percaya. Di sini, dapat kita simpulkan bahwa keragu-raguan itu diperlukan sebagai alat atau cara kita untuk membuktikan suatu teori itu benar atau salah.

Berkenaan dengan masalah yang Anda tanyakan, dalam bahasa Pali ada kata yang mungkin berdekatan artinya dengan istilah yang anda gunakan. Kata tersebut adalah Dhatu yang mana salah satu artinya adalah relik. Kata dhatu dalam arti relik sebenarnya tidak dijumpai dalam Kitab Suci Tipitaka (Tipitaka canon). Namun kata dhatu yang digunakan untuk merujuk pada pengertian sisa-sisa tubuh dari sang Buddha, para arahat dan orang-orang suci (saririka), dapat kita jumpai di dalam kitab-kitab komentar (atthakata), ataupun sub-komentar (tika). Kata itu juga digunakan untuk merujuk kepada barang-barang yang digunakan oleh orang-orang suci (paribhogika), termasuk bowl, jubah dan sebagainya.

Meskipun demikan dalam Kitab Suci Tipitaka, misalnya dalam Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya) disebutkan bahwa setelah pengkremasian tubuh dari Sang Buddha, sisa-sisa tubuh-Nya dibagi kepada delapan raja, dan Brahmana Dona sendiri yang membagi sisa-sisa relik tersebut hanya mendapatkan abunya. Kata bahasa Pali yang digunakan bukanlah kata dhatu, melainkan kata sarirani, yang mana, menurut Kitab Sumangalavilasini diterangkan sebagai tulang. Jadi secara singkat tulang Sang Buddha, meskipun sudah dibakar beberapa hari tidak bisa dibakar. Inilah kehebatan jasad dari orang suci. Kembali pada apa yang telah saya terangkan di atas, mari kita buktikan kebenarannya. Dalam hal ini saya sendiri masih dalam proses pembuktian, tetapi bukan berarti saya tidak percaya. Justru karena saya percaya akan hal tersebut saya berusaha membuktikan.

Jaman sekarang orang banyak yang menyalahgunakan pengertian relik dan banyak juga orang yang demi keuntungan-keuntungan pribadi berusaha meyakinkan suatu benda yang dimilikinya adalah relik orang suci. Dengan berbagai macam alasan, di antara mereka juga berhasil mendapatkan keuntungan dari hasil bisnis ‘kegamaan’ ini. Memang banyak yang menipu orang lain dengan menempatkan sesuatu (misalnya pecahan-pecahan permata dsb.) ke jasad orang yang mau dikremasi. Setelah itu mereka mengumumkan bahwa orang tersebut telah menjadi orang suci. Tidak jarang juga orang berjualan relik dan menjadi pengedar relik. Demikianlah liku-liku tipu daya orang-orang yang menggunakan dalih agama demi mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga pengertian relik sendiri menjadi kabur dan nilai-nilai agung dari relik itu sendiri menjadi kabur. Namun, perlu diperhatikan disini bukan berarti relik itu tidak ada, tetapi menurut analisa saya jumlahnya sangat sedikit. Adapun alasannya adalah pada jaman sekarang sangat sedikit orang yang dapat mencapai kesucian, sebaliknya banyak orang yang mengklaim diri mereka sudah suci.

Untuk sementara, bagi kita yang belum bisa mengetahui apakan suatu relik itu benar-benar relik dari seorang suci atau tidak, kita dapat menganalisa dari segi sejarah dan mungkin kita dapat saksikan tingkah laku dari orang-orang yang kita anggap suci atau oleh masyarakat diklaim sebgai seorang yang sudah suci. Sebagai contohnya terdapat relik gigi dari Sang Buddha yang sekarang masih disimpan di Dalada Maligawa, Kandy, Sri Lanka. Disana, relik tersebut sangat dihormati oleh masyarakat baik lokal maupun umat Buddha yang datang dari manca negara. Kita yang belum bisa mempunyai kemampuan membuktikan secara langsung, untuk sementara dapat menyelidiki dari sudut lain, misalnya historis. Dari segi historis, relik gigi tersebut memang dapat dibuktikan dan dipercaya, dibawa oleh Putri Hemamala dan Pangeran Danta Kumara yang datang ke Sri Lanka untuk menyelamatkan relik tersebut dari serangan musuh (lihat historis dari relik tersebut).

Saya sarankan kepada Saudara Frans Mulyadi untuk menganalisa lebih lanjut jika mendapatkan sesuatu yang dipercaya sebagai relik. Jika memang itu betul relik seorang arahat maka hal tersebut sangat patut untuk kita hormati, tetapi jika sebaliknya maka benda tersebut cukup kita simpan. Penghormatan kepada relik seorang Buddha atau seorang arahat, tentunya membawa manfaat yang cukup besar. Kita seharusnya menghormati relik yang betul-betul relik sebagaimana kita menghormati Sang Buddha sendiri. Hal ini akan menumbuhkan keyakinan kita. Sehingga hal tersebut akan lebih memacu kita untuk mempraktikkan dan membuktikan bahwa ajaran Sang Buddha adalah benar.

Namun, yang terpenting disini adalah bagaimana kita menjadi relik. Mari kita berusaha untuk mempraktikkan ajaran Sang Buddha agar kita dapat mencapai tingkat kesucian, sehingga kita dapat meninggalkan relik. Jika ingin mendapatkan relik, maka hal yang terbaik adalah menjawab pertanyaan ‘Kapan saya bisa menjadi relik atau dengan kata lain kapan saya menjadi seorang arahat?’

Comments are closed.