WALUBI ‘Dibubarkan’, MAGABUDHI Protes Keras
Entah mengapa, selama ini para pemimpin Umat Buddha di Indonesia terkesan lebih banyak ribut soal organisasi daripada, misalnya, memikirkan proyek penerjemahan Kitab Suci Tipitaka secara lengkap atau paling tidak menambah terbitan buku-buku Dhamma. Yang lebih sering terdengar hanya soal ‘penerbitan’ organisasi baru, pergantian nama organisasi, atau malah pembubaran organisasi secara ‘misterius’.
Kesan tersebut semakin kuat saja ketika belum lama ini terdengar Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia) ‘dibubarkan’. Seperti dikutip Tempo No. 01/XXVII/1998, hal. 47, Walubi yang selama ini dikenal dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia sejak Agustus lalu (tiba-tiba) berubah menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Konon, orang yang berada dibalik perubahan itu adalah Ketua Dewan Penyantun Walubi (1993-1998), Siti Hartati Murdaya.
Menurut informasi yang diterima oleh BuddhistOnline.com, sebenarnya secara resmi perubahan itu baru diadakan pada Jum’at, 6 November 1998 melalui “Musyawarah Nasional Khusus” di Jakarta. Adanya pembubaran dan perubahan yang oleh beberapa pihak dianggap kontroversial itu menimbulkan dua kubu, pro dan kontra. Dari pihak yang mendukung dan memastikan untuk bergabung dalam Walubi versi baru itu tercatat Majelis Mahayana, Tantrayana, Kasogatan, Maitreya, Tridharma, NSI, dan Lembaga Agama Buddha Indonesia.
Sedangkan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi), Sangha Theravada Indonesia (STI), Majelis Buddhayana Indonesia, Sangha Agung Indonesia, dan Forum Komunikasi Angkatan Muda Buddhis (Forkami) dengan tegas menolak wadah baru itu (Tempo No.01/XXVII/1998).
Alasan penolakan MAGABUDHI, seperti tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Pimpinan Sidang Musyawarah Nasional Khusus WALUBI, adalah bahwa pembubaran WALUBI itu tidak sesuai atau tidak taat azas dengan Anggaran Dasar (AD) WALUBI.
Menurut pihak MAGABUDHI, berdasarkan AD pasal 31 (1), pembubaran WALUBI hanya dapat dilakukan oleh Musyawarah Nasional yang khusus diselenggarakan untuk keperluan itu dan dihadiri oleh lebih dari 2/3 dari jumlah suara yang seharusnya hadir dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah suara yang hadir.
Padahal, masih dari surat yang sama, Musyawarah (Nasional) Khusus baru bisa diadakan setelah memenuhi beberapa pasal dalam AD. Di antaranya, pasal 23 (2) yang menyebutkan bahwa Munas Luar Biasa diselenggarakan apabila sangat diperlukan demi kelangsungan hidup WALUBI atas permintaan tertulis Widhayaka Sabha dan atau sekurang-kurangnya 2/3 WALUBI Daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Di samping itu, dalam pasal 23 (3) juga dikatakan Munas Luar Biasa dapat diselenggarakan atas usulan tertulis dari, sekurang-kurangnya, 2/3 jumlah Dewan Pengurus Daerah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
“Setahu kami DPP Walubi tidak pernah secara resmi menanyakan kepada DPD apakah mereka berniat mematikan Walubi atau tidak,” ujar Ketua Umum MAGABUDHI, Pandita Herman S. Endro, S.H dalam surat itu.
Adanya pertentangan keras seperti itu sebenarnya bisa disebut sebagai klimaks dari sederet konflik dalam tubuh WALUBI yang selama ini cukup berhasil ditutup rapat-rapat. Dan seperti biasa, Umat Buddha kembali harus puas terbingung-bingung dengan ‘sinetron’ macam begitu.
Hingga artikel ini di-online-kan, BuddhistOnline.com belum mendapatkan informasi perkembangan terakhir soal itu. Mungkin bisa ditunggu setelah usai Pasamuan Agung Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI baru) yang kabarnya dilangsungkan akhir bulan ini. Dan aksi lanjutan dari mereka yang kontra tidak kalah menariknya untuk dinanti.
Mari, kita menunggu sambil menghitung sudah berapa jumlah organisasi Buddhis yang telah didirikan dari dulu hingga sekarang. Satu…Dua…Tiga. Mulai!