Mengenang Y.M. Khemasarano Mahathera
Delapan puluh empat tahun lalu, di Juana, Kabupaten Pati, lahirlah seorang bayi laki-laki bernama Soetamat. Ia dibesarkan dalam lingkungan pertanian. Ia memiliki dua adik laki-laki dan dua adik perempuan. Meski bapaknya seorang petani biasa, ia tetap berkesempatan menamatkan pendidikannya di K.E.S (Sekolah Teknik zaman Belanda), Surabaya, setelah sebelumnya mengikuti pendidikan di H.I.S, Juana.
Pada bulan September 1937, ketika berusia 22 tahun, ia menikahi seorang perempuan bernama Kartinah yang kelak akan menjadi ibu dari empat orang anaknya. Keempat anaknya itu masing-masing diberi nama Sri Widarti, Imam Djajono, Tri Praniti Lestari, dan Dyah Anjari Susetyowati. Setelah anak-anaknya berkeluarga, ia memperoleh 16 orang cucu dan 17 orang cicit. Ny. Kartinah meninggal pada 1986.
Perjalanan karirnya dimulai ketika pada 1940 ia diterima bekerja sebagai pegawai Pegadaian di Juana. Di tempat itu ia hanya bertahan selama empat tahun. Selanjutnya ia sempat berpindah-pindah tempat pekerjaan. Antara 1944 dan 1945, ia bekerja di Kantor Karesidenan Pati. Kemudian ia pindah ke pabrik kapal milik Departemen Pekerjaan Umum yang berada di Juana dan Sonde (Ngawi). Di tempat pembuatan kapal itu, ia bekerja selama lima tahun sebelum pindah ke Jakarta.
Di Jakarta, ia bekerja sebagai karyawan di Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Di tempat kerjanya yang baru ini, ia bertahan cukup lama. Pada tahun 1966, ia memasuki masa pensiun dengan jabatan terakhir sebagai bendaharawan.
Ketertarikannya terhadap Agama Buddha dimulai ketika bertemu Pandita S. Widyadharma di Bogor. Ketika kembali ke Jawa Tengah, ia rajin mengikuti acara Mimbar Agama Buddha asuhan mendiang S. Mangunkawatja yang dipancarkan oleh RRI Semarang. Pada tahun 1967, Ia memperoleh visudhi Upasaka dengan nama visudhi Anandaputra. Karena kematangannya dalam pelajaran Agama Buddha, setahun kemudian ia di-visudhi sebagai Pandita.
Terhadap aktivitasnya dalam kegiatan keagamaan itu, istri dan anak-anaknya sangat mendukung. Bahkan ketika pada1970, ia meninggalkan kehidupan keduniawian untuk menjadi sebagai Anagarika, mereka merelakannya. Saat itu ia ditahbiskan oleh Y.M. Narada Mahathera di Vihara Maha Dhammaloka, Semarang.
Dua tahun kemudian, tepatnya 26 Juli 1972, ia menerima pabajja sebagai Samanera tetap oleh Y.M. Bhikkhu Jinapiya (kini menjadi Y.M. Tithaketuko Thera). Setelah itu, ia diupasampada menjadi Bhikkhu oleh Somdet Phra Nyanasamvara pada 13 Juli 1973 di Wat Bovonarives Vihara, Bangkok, Thailand. Bersamanya, diupasampada juga Samanera lain asal Indonesia menjadi Y.M. Bhikkhu Aggabalo (sudah lepas jubah dan sekarang dikenal sebagai Cornelis Wowor, M.A.).
Pada 23 Oktober 1976, dengan bertempat di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih, Semarang), ia dan Y.M. Bhikkhu Aggabalo bersama Y.M. Bhikkhu Sudhammo (sekarang Y.M. Sudhammo Mahathera), Y.M. Bhikkhu Khemiyo (sudah lepas jubah) dan Y.M. Bhikkhu Ñanavuttho (sudah meninggal) mendirikan Sangha Theravada Indonesia.
Setelah Vihara Tanah Putih, Semarang, diserahkan kepada STI, ia memutuskan untuk berdiam di vihara tersebut. Selama menjadi Bhikkhu, ia rajin berkunjung ke daerah-daerah pelosok untuk membabarkan Dhamma. Ia juga banyak mempunyai anak asuh. Atas jasa-jasa dan pengabdiannya selama menjadi Bhikkhu, maka pada peringatan 20 tahun pengabdian STI, 23 Oktober 1996, ia dianugrahkan gelar Padhana Sasanadhaja (orang pertama yang mengibarkan bendera sasana). Adapun jabatan terakhirnya dalam STI adalah sebagai penasihat (Sangha Anusasanacariya).
Demikianlah sekilas riwayat perjalanan hidup dari Y.M. Khemasarano Mahathera yang pada 3 Maret 1999 lalu telah meninggalkan kita selama-lamanya. Semoga jasa dan pengabdiannya selama ini dapat ditiru oleh generasi selanjutnya. Semoga ia selalu berbahagia di alam manapun sesuai dengan jasa dan perbuatan baiknya. Semoga semua makhluk selalu berbahagia. (Henry Basuki, Semarang/bch) FOTO: Dok. Samaggi Phala/ILUSTRASI: BEN-CH