Hubungan Anicca, Anatta, dan Dukkha
- Mengenai anicca. Jika memang tidak ada kekekalan, lalu apa yang mencapai Nibbana? Bukankah itu ‘diri’ kita juga? Jika demikian, berarti apa yang disebut sebagai ‘diri’ ini adakah yang kekal (walau tubuh tidak kekal) karena kita bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan ‘diri’?
- Mengenai dukkha. Setahu saya, keterikatan terhadap lima khanda itu menimbulkan dukkha. Bagaimana seumpama kita berusaha menghilangkan keterikatan terhadap kejadian yang berlangsung? Misalnya, saya memiliki motor lalu dicuri orang tetapi saya merelakannya, apakah itu berarti saya terbebas dari dukkha? Lebih jauh lagi, misalnya seorang wanita berbuat asusila dengan seorang pria yang sama-sama single atas dasar suka sama suka, tetapi tidak menikah dan tidak hamil. Mereka berusaha untuk tidak saling memiliki tapi tujuannya untuk kesenangan saja. Dalam hal ini, menurut saya, tidak ada pihak yang dirugikan. Apakah mereka melakukan kamma buruk?
- Saya masih sulit menjawab mengenai penciptaan. Jika saya mengatakan bahwa kita tidak diciptakan tapi dalam teori ketuhanan disebutkan: “ketahuilah bahwa ada yang tidak menjelma, tidak terciptakan ….“. Apakah berarti ada yang diciptakan? Bagaimana?
Padmadevi, Biak
- Sesungguhnya justru karena tidak kekal maka mahluk bisa mencapai Nibbãna, kalau kekal, maka dia hanya mencapai surga atau neraka, atau terlahir di salah satu dari ke 31 alam itu. Karena Nibbãna adalah padamkan nafsu (tanha) yaitu kamma tanha, bhava tanha, dan vibhava tanha. Lalu, APAKAH yang mencapai Nibbãna…? Pertanyaan ini karena menunjuk satu benda dengan istilah ‘apa’, maka kesannya ADA YANG MENCAPAI, padahal, pencapaian Nibbãna ini tak terceritakan. Dengan menggunakan istilah ‘ada yang mencapai’ itu sesungguhnya telah berusaha menceritakan Nibbãna yang nanti akan berakhir dengan pengertian salah tentang adanya kekekalan.
- Sikap di atas ini tidaklah tepat, karena dalam Dhamma dikatakan bahwa seseorang hendaknya mencari barangnya yang hilang. Namun, pencarian ini bukanlah karena kemelekatan, melainkan karena usaha untuk mempertahankan hak dan kewajiban kita. Dalam batin kita, memang hendaknya menyadari bahwa kesedihan adalah karena keinginan dan kemelekatan, sehingga batin sudah tidak tergoyahkan lagi atas peristiwa kehilangan motor, namun, usaha pencarian hendaknya tetap dilakukan juga. Dengan demikian, kita tidak lagi menjadi ‘orang bodoh yang baik hati’.
Hubungan pria dan wanita dalam Agama Buddha adalah berdasarkan hak dan kewajiban. Oleh karena itu, sikap hanya mencari kesenangan tersebut bukanlah sikap yang terpuji, melainkan menambah kamma buruk, karena memiliki akar perbuatan dari ketamakan.
- Sesungguhnya dalam Dhamma, seseorang dengan kekuatan batinnya bisa ‘menciptakan’ sesuatu, misalnya saja, memperbanyak dirinya sendiri dari satu menjadi tiga atau lebih. Padahal, keterangan di atas itu tidak menunjuk pada hal-hal semacam ini.
Saudara penanya yang baik, Di dalam Agama Buddha dikenal istilah Paramattha Dhamma (hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu) dan Pannatti Dhamma (sebutan / konsep / nama / definisi / kesepakatan umum).
Pertanyaan Saudara merupakan kombinasi dari dua Dhamma di atas, sehingga tidak konsisten. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang “not applicable”. Sama saja dengan contoh pertanyaan: Kalau tidak ada diri (anatta) lalu siapa yang merealisasi Nibbãna?
Pertanyaan konsep harus mendapatkan jawaban konsep dan pertanyaan Paramattha Dhamma harus mendapatkan jawaban berupa Paramattha Dhamma. Jadi, di dalam konsep ada istilah aku, diriku, badanku, ciptaanku, dan sebagainya. Namun di dalam hakekat sesungguhnya (paramattha) tidak ada diri, tidak ada aku, tidak ada badanku, dan tidak ada ciptaanku.
Untuk lebih memahaminya lebih mendalam, Saudara dapat mempelajari Abhidhamma dan mempraktikkannya di dalam vipassana bhavana.
Semoga Saudara selalu maju dalam Dhamma.
Semoga bermanfaat.
Semoga semua mahluk berbahagia.