Apakah Ehipassiko Masih Diperlukan?
Dalam Agama Buddha, kita mengenal yang namanya ehipassiko, yang maksudnya DATANG, LIHAT, dan BUKTIKAN. Saya pribadi kurang setuju mengenai ehipassiko ini, karena menurut saya, Dhamma Sang Buddha adalah suatu kebenaran yang universal, yang kita namakan dengan Kesunyataan. Kalau ajaran tersebut merupakan suatu kebenaran yang absolute, bagaimanapun kita membuktikannya, hasilnya tetap akan berupa suatu kebenaran. Jadi hal ini merupakan kerjaan yang sia-sia.
Kalau kita terlalu sering tidak percaya, sebelum membuktikan hal tersebut, saya khawatir, lama-lama kita akan benar-benar tidak percaya dengan Dhamma, seperti mengenai ketuhanan dalam Agama Buddha, itu akan sulit dibuktikan.
Yang ingin saya tanyakan, apakah ehipassiko masih diperlukan dalam Agama Buddha?
Siutarno, Jakarta Utara
Ehipassiko yang dimaksudkan adalah setelah mengenal TEORI DHAMMA maka hendaknya bisa DILAKSANAKAN dalam kehidupan ini, sehingga seseorang akan MEMBUKTIKAN dan memperoleh hasil sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Misalnya saja, dalam salah satu sabdaNya, Sang Buddha pernah menyampaikan bahwa selama masih ada orang yang melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka masih banyak orang yang mencapai kesucian. Pernyataan ini hendaknya bukan hanya berhenti pada teori saja, melainkan harus dilaksanakan.
Apabila hasil pelaksanaan Jalan itu seseorang dapat mencapai kesucian, maka berarti, orang itu sudah melaksanakan ehipassiko. Jadi, memang ehipassiko jelas diperlukan, karena tidak ada kesucian bisa dicapai hanya dengan menguasai teori tanpa melaksanakan.
Sdr. Siutarno yang baik, Namo Buddhaya.
Ehipassiko merupakan salah satu sifat dari enam sifat Dhamma Ratana (lihat Dhammanussati). Sedangkan Dhamma Ratana sendiri adalah Nava lokuttara dhamma (9 jenis Dhamma yang mengatasi sifat dunia / surga), yaitu Magga, Phala dan Nibbana; jadi bukan sembarang dhamma yang umum ditemui. Dhamma Ratana ini bersifat mengundang untuk dibuktikan (Ehipassiko). Nah, ehipassiko merupakan salah satu sifat Dhamma Ratana; apabila dikurangi / dihilangkan, maka sifat Dhamma Ratana akan berkurang satu, dan apa jadinya Dhamma itu?
Perlu diketahui bahwa keyakinan (saddha) seseorang terhadap Dhamma akan berkembang secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan batin, pengalaman keseharian dan pengertian benarnya terhadap hakekat sesungguhnya segala sesuatu, hingga satu saat terealisasi keyakinan teguh terhadap Dhamma (yaitu Dhamma Ratana). Tingkat keyakinan teguh tak tergoncangkan ini merupakan Abhisamaya (perealisasian tingkat kesucian) pertama, yaitu
Sotapana. Selama seseorang belum merealisasi Sotapana, walaupun ia mengaku ‘telah yakin penuh’ terhadap Dhamma, ia tidak tertutup kemungkinan mengalami kemerosotan batin sehingga akhirnya malah menjauhi Dhamma, apalagi Dhamma Ratana. Demikian penjelasan kami perihal ehipassiko.
Perihal konsep ketuhanan dalam Agama Buddha yang sulit dibuktikan, kalau boleh bicara terus terang itu merupakan konsep. Konsep adalah sebutan, istilah, nama, keterangan atas sesuatu untuk kepentingan berdialog, berkomunikasi, berdiskusi, bersosial dan sebagainya. Konsep ketuhanan Agama Buddha ini hanya ada di Indonesia, dan muncul sekitar tahun 60 – 70-an ketika merebak isu Komunisme. Padahal ada atau tidak ada konsep ketuhanan, Buddhism bukanlah Communism. Di antara konsep ketuhanan yang ada, pandangan konsep ketuhanan Agama Buddha ini yang merupakan aspek nafi, yang tidak
mencampurkan konsep dualisme sifat dunia/surgawi yang fana terhadap sesuatu yang lebih luhur sifatnya, dan sejauh ini tak ada satu pun yang dapat menyalahkan konsep ketuhanan ini.
Kalau boleh kami usulkan, sebaiknya Anda lebih berkonsentrasi di dalam pembuktian Dhamma dengan jalan mempraktikkan Dhamma, niscaya Anda akan lebih memahami apa sesungguhnya konsep ketuhanan itu, karena satu-satunya cara pembuktian Dhamma secara telak adalah dengan mempraktikkan Dhamma, tentu Dhamma yang benar, bukan Dhamma asal-asalan sesuai pengakuan orang tertentu.
Demikian tanggapan kami, semoga bermanfaat.