Kemungkinan Kesalahan dalam Penulisan Tipitaka
Kita mengetahui bahwa Tipitaka atau Tripitaka merupakan kitab suci Agama Buddha yang diyakini merupakan ajaran dari Sang Buddha. Namun dari sejarah, dikatakan bahwa kitab suci baru ditulis sekitar 400 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana.
Mengingat waktu yang cukup lama, menurut saya, kemungkinan terjadi salah persepsi ataupun salah hafal dan mungkin juga penambahan di sana-sini sangat besar. Bagaimana seharusnya seorang Buddhis memandang hal ini? Terima Kasih sebelumnya.
Danny, Tangerang
Memang benar kalau Tipitaka baru ditulis kira-kira 300 tahun setelah Sang Buddha wafat. Selama itu, Tipitaka yang berisi 84.000 topik bahasan hanya dihafal di luar kepala! Hal ini tidaklah aneh. Sistem pengajaran yang dipergunakan Sang Buddha adalah PENGULANGAN. Sistem ini sangat membantu seseorang untuk menghafal kotbah Sang Buddha.
Perhatikan pola yang ada pada Tisarana, Pancasila, Saccakiriyagatha, dan bahkan Dhammacakkapavattana Sutta, serta kotbah-kotbah yang lain, semuanya banyak berisi pengulangan. Dengan sistem ini, orang akan dapat mulai menghafal sutta tertentu apabila ia mengulanginya beberapa kali saja. Dengan demikian, dapat dihindari penambahan isi Tipitaka seperti yang banyak diduga orang. Kehebatan Sang Buddha memilih sistem pengajaran inilah yang membuat para umat yakin bahwa Tipitaka juga bukan merupakan hasil interpretasi para muridnya.
Selain itu, konsistensi isi Tipitaka juga dapat menjadi petunjuk bahwa Tipitaka masih dapat diyakini kebenarannya. Konsistensi isi ini berkisar pada pembebasan manusia dari dukkha dengan pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Sesungguhnya, selama Sang Buddha mengajar, Beliau selalu membabarkan Empat Kesunyataan Mulia. Oleh karena itu, Tipitaka secara konsisten selalu memberikan uraian dari berbagai segi tentang topik tersebut.
Akhirnya, apabila memang masih ragu dengan keaslian Tipitaka, tidak perlu kuatir, bukankah Sang Buddha juga tidak mengajarkan untuk percaya secara membuta? Bukankah Sang Buddha menganjurkan untuk menguji manfaat segala sesuatu sebelum dapat diterima? Demikian pula dengan Tipitaka, uji saja dahulu bila memang masih ragu.
Demikian jawaban singkat yang mungkin dapat dijadikan renungan.
Saudara Danny yang baik, pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang telah diajukan kepada kami. Sebelum menjawab permasalahan yang telah Anda sampaikan, terlebih dahulu kita akan membahas secara singkat tentang sejarah Prior to the writing down of the Tipitaka.
Menurut beberapa sumber yang ditulis dalam bahasa Pali seperti Nikaya Sangraha, Mahavamsa, Saddhammalankaraya dan sebagainya, Kitab Suci Tipitaka untuk pertama kalinya telah ditulis di Alu-vihara (Aloka Vihara), Sri Lanka sekitar tahun 84 S.M. pada waktu pemerintahan Raja Vattagamini Abhaya. Sedangkan selama lebih kurang 400 tahun Kitab Suci Tipitaka dilestarikan dengan cara menghafal dan disampaikan dari mulut ke mulut atau secara oral tradition. Tradisi tersebut merupakan tradisi kuno yang telah dijalankan oleh masyarakat India (terutama masyarakat India kuno). Perlu dicatat disini, meskipun masyarakat India memiliki sejarah kebudayaan kuno yang sangat lama (bisa ditelusuri sampai ke kebudayaan Mahenjodaro dan Harappa), tetapi secara umum mereka dikenal enggan untuk mencatat sejarah kebudayaan mereka ke dalam tulisan, lebih-lebih mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan keagamaan. Tentunya hal ini cukup berbeda dengan masyarakat China yang memang mempunyai catatan-catatan sejarah kuno yang sangat banyak.
Secara singkat kita yang hidup di abad duapuluh ini, jalan pikiran kita sudah banyak dipengaruhi oleh cara atau sistem berpikir ala barat, di mana semua permasalahan seolah-olah harus diselesaikan secara sistematis dan logis. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat disampaikan kepada masyarakat harus ditulis dan disusun seefektif mungkin, sehingga mereka dapat menerima apa yang akan disampaikan dengan mudah. Tetapi hal ini cukup lain jika dilihat dari tradisi kuno yang telah dijalankan di India. Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka, terutama mengenai pengetahuan (ilmu-ilmu) yang berhubungan dengan keagamaan disampaikan secara lisan dari guru kepada murid. Bahkan beberapa ilmu rahasia (Sanskritraharsya) hanya dapat diketahui oleh murid, jika dia sudah menjalankan upacara tertentu yang ada hubungannya dengan hal tersebut. Sistem pengajaran yang demikian, di satu sisi membuat ketergantungan antara pihak murid dan guru dan di lain sisi membuat kedekatan hubungan mereka serta memperkuat sistem penghafalan yang mereka terima dari pihak guru.
Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, kita dapat berpikir sendiri tentang mengapa Kitab Suci Tipitaka baru di tulis 400 tahun setelah Sang Buddha berparinibbana. Tentang keabsahan dan masalah interpolasi dan sebagainya, kita harus membahasnya secara panjang. Tetapi di sini kita akan membahas secara singkat saja, karena selain bukan sebagai thesis, faktor waktu dan tempat yang sangat terbatas.
Secara singkat dua bulan setelah Mahaparinibbana dari Sang Buddha, diadakan Pesamuan Agung yang pertama di gua Sattapanni (Saptaparni), Rajagaha dibawah pemerintahan Raja Ajatasattu (India). Dalam pasamuan tersebut dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang kesemuanya sudah mencapai tingkat arahat (kesucian). Adapun tujuan utama dari pesamuan tersebut adalah untuk mengumpulkan, membahas dan menegakkan Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan dan ditetapkan oleh Sang Buddha. Pada waktu itu Bhante Maha Kassapa terpilih sebagai presiden dan Bhante Upali mendapat kesempatan untuk membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan vinaya serta Bhante Ananda mendapat kesempatan untuk membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan Dhamma. Dalam pesamuan tersebut mereka berpendapat bahwa ‘Vinayo nama sasanassa ayu vinayo titthe sasanam tittham hoti‘ atau ‘Jika Vinaya berdiri (ditegakkan) maka sasana (ajaran Sang Buddha) juga dapat ditegakkan, jika Vinaya dilaksanakan maka sasana juga akan berumur panjang’. Demikian secara singkat, pesamuan agung yang pertama membahas hal-hal yang berhubungan dengan Dhamma dan Vinaya serta keabsahannya bisa dipertanggung jawabkan, karena selai pelaksanaanya hanya dua bulan setelah Mahaparinibbana dari Sang Buddha, juga dihadiri oleh para bhikkhu yang kesemuanya mencapai tingkat arahat. Selanjutnya, seperti yang telah diterangkan dalam beberapa sumber i.e. Sumangalavilasini setelah pesamuan tersebut, dalam rangka menjaga dan melestarikan ajaran Sang Buddha, mereka membagi tugas kepada masing masing kelompok bhikkhu. Misalnya mengenai segala hal yang berhubungan dengan vinaya, penghafalan dan pelestariannya diserahkan kepada Bhante Upali beserta para murid beliau, mengenai pelestarian Sutta Pitaka Digha Nikaya diserahkan kepada Bhante Ananda beserta para muridnya, untuk Angguttara Nikaya diserahkan kepada Bhante Anurudha beserta para muridnya dan sebagainya.
Jadi, mengingat ajaran Sang Buddha yang begitu banyak, maka dalam melestarikannya mereka menghafalkannya sesuai dengan nikaya atau vagga dan sebagainya; sehingga dikenal kelompok bhikkhu yang hafal tentang segala hal yang berhubungan dengan Digha Nikaya yang disebut dengan Digha bhanaka, Majjhima bhanaka, Samyutta bhanaka dan sebagainya.
Sedangkan pesamuan agung kedua telah dilaksanakan seratus tahun setelah Mahaparinibbana dari Sang Buddha di Vaisali, dibawah pemerintahan Raja Kalasoka. Pesamuan tersebut tidak mempermasalahkan tentang ajaran Sang Buddha (Dhamma) melainkan pesamuan kedua membahas tentang 10 praktik yang berhubungan dengan vinaya dari para bhikkhu yang tinggal di daerah Vajji (India). Kesepuluh praktik tersebut disebut dengan ‘Dasa Vatthuni’ yang mana oleh para bhikkhu yang berpegang teguh pada hasil konsili pertama (tidak mengubah peraturan besar maupun kecil) sebakai praktik yang melanggar vinaya. Sebagai contoh, singilonakappa atau ‘praktik untuk membawa garam yang dimasukkan ke dalam tanduk’ melanggar pacittiya ke 38, dvangulakappa atau praktik untuk makan makanan setelah bayangan cahaya matahari jatuh dua jari di sebelah timur (setelah lewat jam dua belas), melanggar pacittiya ke 37 (Vinaya Pitaka) dan sebagainya. Keterangan selanjutnya tentang pesamuan agung kedua dapat dibaca di beberapa sumber seperti Sumanggala Vilasini, Samantapasadika, Dipavamsa, Mahavamsa dan sebagainya.
Pesamuan agung kedua yang dipimpin oleh Bhante Sabbakami tersebut menghasilkan keputusan bahwa kesepuluh praktik yang telah dipraktikkan oleh para bhikkhu yang tinggal di daerah Vajji tersebut tidak sesuai dengan vinaya yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Perlu dicatat di sini bahwa para bhikkhu Vajji yang tidak puas dengan keputusan yang telah diambil, menyelenggarakan pesamuan sendiri yang dihadiri oleh banyak bhikkhu (mahasangiti) dan pesamuan tersebut merupakan cikal bakal dari Mahasanghika (yang kemudian berkembang menjadi Mahayana).
Sekitar tiga ratus tahun setelah Sang Buddha berparinibbana, diadakan pesamuan agung yang ke-tiga di Pataliputta, dibawah pemerintahan Raja Asoka. Berbeda dengan konsili kedua, pada konsili ketiga yang dibahas adalah semua hal yang berhubungan dengan Kitab Suci Tipitaka. Jadi, tujuan dari konsili tersebut adalah untuk melestarikan ajaran murni Sang Buddha (Saddhamma), dimana dalam hubungannya dengan penulisan kitab suci Tipitaka di Sri Lanka, hal yang perlu dicatat disini adalah pengiriman 9 kelompok dhammadutta ke sembilan penjuru, termasuk pengiriman dhammaduta ke Sri Lanka yang dipimpin oleh Arahat Mahinda Thera, putra dari Raja Asoka.
Menurut Mahavamsa, setelah mendapat perbekalan yang cukup Arahat Mahinda Thera bersama Thera Itthiya, Uttiya, Sambala, dan Baddhasala, Sumana Samanera dan upasaka Bhanduka terbang dari India menuju Sri Lanka, 236 tahun setelah Mahaparinibbana dari Sang Buddha. Misi tersebut diterima sangat baik oleh masyarakat Sri Lanka, sehingga Agama Buddha berkembang pesat di Lankadipa (Sri Lanka). Banyak kerabat raja, menteri dan rakyat jelata dari berbagai lapisan menjadi bhikkhu dan setelah menjalankan praktik Dhamma yang benar, dapat mencapai tingkat kesucian (arahat). Diceritakan bahwa seluruh masyarakat menganut Agama Buddha. Tetapi secara politik kerajaan mendapat gangguan dari Kerajaan Cola yang rajanya beragama Hindu.
Secara singkat, pada waktu pemerintahan Vattagamini Abhaya Kitab Suci Tipitaka telah ditulis di Aloka Vihara, Matale, Sri Lanka. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan Kitab Suci Tipitaka ditulis adalah sebagai berikut:
- keadaan yang kurang begitu baik akibat serangan yang dilakukan oleh kerajaan Cola menyebabkan terjadinya perpisahan antara guru dan murid (sudah menjadi kebiasaan kitab ajaran Sang Buddha disampaikan dari guru ke murid secara oral).
- terjadi bahaya kelaparan yang menyebabkan para bhikkhu mengalami kesusahan untuk menghafalkan Kitab Tipitaka yang begitu banyak. Sehingga mereka sadar akan bahaya dari penyampaian ajaran Sang Buddha secara oral.
- banyak orang yang memasuki kebikkhuan bukan dengan tujuan untuk mencapai kesucian, sehingga mereka malas untuk mempelajari kitab suci.
Beberapa pemikiran di atas membuat para bhikkhu sadar akan pentingnya pelestarian ajaran Sang Buddha dengan jalan menulis ajaran-ajaran Sang guru. Menurut beberapa sumber seperti Nikaya sangraha, Samantapasadika, Sumanggala Vilasini, Dipavamsa, Mahavamsa dan sebagainya, pesamuan para bhikkhu di Aloka Vihara yang menghasilkan penulisan Kitab Tipitaka tersebut, dihadiri oleh limaratus orang bhikkhu yang kesemuanya mencapai tingkat arahat.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa penulisan Kitab Suci Tipitaka didasarkan pada semangat untuk melestarikan ajaran murni Sang Buddha. Dilihat dari segi historis tentang pelestarian ajaran Sang Buddha melalui keempat konsili tersebut, maka jelas bahwa usaha untuk menjaga kemurnian ajaran Sang Buddha telah dibuktikan kebenarannya oleh para arahat. Selain itu sejak konsili pertama, sutta-sutta yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha telah dikelompokkan sedemikian rupa sehingga memudahkan untuk menghafalkannya. Oleh karena itu banyak bhikkhu yang dapat julukan Digha-bhanaka, Majjhima-bhanaka, Samyutta-bhanaka dan sebagainya.
Alasan yang lain adalah kebiasaan masyarakat India untuk menyampaikan pelajaran, terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan secara lisan. Hal ini membuat para murid sudah terbiasa untuk menghafal dan mengingat pelajaran yang telah disampaikan oleh para guru mereka. Selain alasan-alasan tersebut di atas, jika kita melihat susunan yang ada dalam Kitab Suci Tipitaka, kita dapat melihat adanya sistem pengulangan beberapa bait dengan sedikit tambahan kata-kata baru. Hal ini juga dapat dijadikan bukti bahwa sebenarnya Kitab Suci Tipitaka yang ada sekarang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk simplifikasi dan sistematisasi, tetapi lebih bersifat penjabaran tentang beberapa hal yang berulang-ulang, sehingga sangat mudah untuk membantu penghafalan. Alasan lain adalah adanya beberapa hal yang terdapat dalam nikaya yang berbeda. Hal ini juga bisa dijadikan alat untuk mengecek apakah terdapat keteledoran dari orang yang menghafal.
Tentunya banyak lagi alasan yang dapat disampaikan di sini untuk memmbuktikan bahwa ajaran-ajaran Sang Buddha yang tertulis dalam Kitab Suci Tipitaka bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya. Terima kasih.
Sukhi ca arogyo bhavatu!