Home » Tanya Dhamma

Antara Vipassana dan Samatha

25 September 2006 No Comment
Namo Buddhaya,
Saya pernah mengikuti latihan meditasi vipassana bhavana sekali dan saat ini saya rutin mengikuti samatha bhavana yang diadakan di Vihara – vihara Jakarta. Permasalahannya, setiap latihan meditasi samantha bhavana ini saya sering salah dalam menggunakan objek. Kadang saya memakai objek naik turunnya perut, kadang tercampur dengan objek keluar masuknya nafas. Apakah ini salah? Mana yang lebih baik, memakai objek perut atau nafas? Mana yg lebih baik vipassana atau samatha? Mohon penjelasannya? Terima kasih.

Mettacitena,
Subharini

Jawaban dari Selamat Rodjali:
Namo Buddhaya,

Vipassana mengandung arti kualitas batin yang memiliki kemampuan untuk ‘mengamati’ segala sesuatu dalam hakekat yang sesungguhnya yang dicengkram oleh tiga sifat umum, yaitu tidak kekal, tidak memuaskan, dan tidak berkepemilikan pada saat itu (jadi bukan konseptual / sebutan / nama / gambaran).

Sedangkan Samatha mengandung arti kualitas batin yang memiliki kemampuan menekan lima rintangan batin sehingga tenang dalam objek pengamatan yang berupa konseptual / sebutan / gambaran. Jadi, keduanya merupakan kualitas batin, bukan metode.

Nah, metodenya ada macam-macam, naik turunnya perut atau masuk keluarnya nafas bisa menjadi sarana objek pengamatan untuk merealisasi salah satu kualitas batin di atas.

Jika seseorang berlatih mengamati proses naik turunnya perut atau masuk keluarnya nafas yang dicengkeram tiga sifat umum di atas pada saat itu, maka ia melatih metode untuk merealisasi vipassana. Sedangkan bila seseorang berlatih mengamati proses naik turunnya perut atau masuk keluarnya nafas dengan membayangkan satu titik terus-menerus, atau memikirkan lafal kata baik dalam ucapan ataupun dalam batin sebagai catatan ‘naik-turun’ atau ‘masuk-keluar’, maka metode tersebut semata-mata untuk membantu batin merealisasi Samatha.

Jadi, yang Saudara latih yang mana? Keduanya tidak salah, keduanya merupakan metode untuk merealisasi kualitas batin yang berbeda, keduanya bersifat komplemen (saling mendukung) dan dibutuhkan di dalam melaksanakan jalan mulia berunsur delapan secara utuh.

Saran saya, carilah guru yang pandai, bekalilah dengan pengetahuan teori yang cukup, termasuk pengetahuan dasar fenomena batin dan jasmani. Teori itu akan menjadi katalis untuk merealisasi kebijaksanaan yang lebih luhur di dalam bermeditasi. Sayangnya, guru di Indonesia sangat langka, salah satu yang paling berpengalaman saat ini adalah Bhante Thitaketuko. Lain dengan di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, di mana banyak sekali guru-guru meditasi baik untuk vipassana maupun samatha. Demikian pula pembabaran teori pencapaian vipassana dan samatha juga sangat intensif dibahas dan dibicarakan.

Demikian masukan saya, semoga saudara lebih giat berlatih, semoga berbahagia.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Comments are closed.