Home » Tanya Dhamma

Siddhatta Tidak Bertanggungjawab?

27 September 2006 No Comment
Namo Buddhaya,

Saya ingin menanyakan tiga pertanyaan. Yaitu:

  1. Dalam buku berjudul “Sakyamuni Buddha, Biografi tafsir” karangan Daisaku Ikeda, disebutkan bahwa Kapilavastu adalah negara yang kecil dan mudah dikuasai oleh negara besar lainnya. Oleh karenanya, Raja Suddhodhana ingin mewariskan tahtanya kepada Siddhatta. Tetapi Siddhatta malah pergi bertapa, bukankah ini adalah sikap yang tidak bertanggung jawab?
  2. Darimanakah kata “neraka” diambil? Apakah dari kata “Niraya“? Jika ya, apakah berarti Sang Buddha adalah orang pertama yang mengemukakan tentang alam neraka diantara para pemuka agama lainnya? Jika tidak, dari bahasa manakah kata neraka diambil?
  3. Bagaimana konsep ketuhanan dalam Agama Buddha? Karena konsep dalam Udana VIII kurang saya pahami.

Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

Mettacitena,
Hendra Dedi, Jakarta Utara

Jawaban dari Y.M. Bhikkhu Uttamo:

  1. Alasan kepergian Pangeran Siddhattha meninggalkan istana untuk menjadi pertapa bukanlah karena sebab yang sesaat, melainkan memenuhi dorongan yang sudah muncul sejak kecil. Dalam riwayat Beliau, tentu bisa dibaca bahwa Beliau sudah bisa bermeditasi sejak usia dini, yaitu tujuh tahun. Begitu pula perilaku Beliau terhadap binatang maupun sesama manusia juga sudah menunjukkan perbedaan dengan anak-anak sebayanya, termasuk Devadatta. Beliau memang sudah mengarah pada kehidupan pertapaan. Oleh karena itu, warisan kedudukan bukanlah harapan yang Beliau dambakan, ketika Beliau melihat kenyataan bahwa hal itu tidak bisa mengatasi ketuaan, penyakit, dan kematian. Jadi, akhirnya Beliau meninggalkan istana dan menjadi pertapa.
  2. Untuk saat ini, kata “neraka” masih belum diketahui asal katanya, namun dalam pengertian Buddhis, memang alam menderita semacam itu disebut sebagai Niraya bukan neraka. Dan istilah ini tampaknya sudah ada sejak Pangeran Siddhattha belum mencapai keBuddhaan.
  3. Secara sederhana, konsep ketuhanan dalam Agama Buddha adalah ‘tidak terceritakan’ karena ‘tidak bersyarat’ alias Asankhata Dhamma. Hal ini sebenarnya wajar saja, karena kita tidak akan bisa menceritakan tentang ‘nasi’ sehingga orang yang kita ajak berbicara mengerti dengan jelas tentang ‘nasi’ baik warna, rasa maupun kualitas lainnya. Sangat terbatas kata-kata yang kita miliki. Namun, tak terceritakannya ‘nasi’ tersebut, bukan berarti tidak adanya ‘nasi’. Orang akan mengerti segala kualitas ‘nasi’ kalau sudah membuktikannya sendiri dengan mengamati dan merasakan sendiri ‘nasi’ tersebut. Demikian pula dengan konsep ketuhanan Agama Buddha, tidak bisa diceritakan namun bisa dibuktikan (ehipassiko) dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan sehingga tercapainya Nibbana.
Jawaban dari Selamat Rodjali:
Namo Buddhaya,

  1. Pangeran Siddhattha memandang misi yang jauh lebih luhur termasuk keluarganya. Bukankah mereka semuanya akhirnya merealisasi pencerahan menjadi mahluk suci, bahkan amat bangga atas perjuangan Pangeran Siddhattha?
  2. Cerita tentang alam neraka, mahluk-mahluknya, syarat tumimbal lahir di sana, diceritakan lengkap di Tipitaka Pali. Buddha hanya membabarkan fenomena ini karena sejak di jamannya banyak juga orang yang pandai melihat alam-alam tersebut. Di kitab lain, kami meragukan apakah neraka diceritakan secara detail seperti di Tipitaka.
  3. Konsep Ketuhanan Di dalam Agama Buddha, HANYA ADA di Indonesia…
    Di Tipitaka Pali, bahkan, tidak ada konsep Ketuhanan. Perbedaan tambahan konsep-konsep yang merebak di berbagai sekte di Indonesia inilah yang menyebabkan perpecahan Sangha di Indonesia. Yang jelas Buddha Dhamma tidak menganut ketergantungan terhadap Tuhan dan Ketuhanan seperti yang dimaksud secara umum. Konsep ketuhanan dalam Agama Buddha yang jauh lebih mendingan ketimbang konsep Ketuhanan di dalam agama Buddha yang lainnya dapat Saudara baca buku “Ketuhanan Yang Maha Esa di Dalam Agama Buddha”, karya Cornelis Wowor MA. Di dalam buku itu diterangkan tentang ayat Udana VIII seperti yang Saudara maksudkan.

Comments are closed.