Pencapaian Kesucian dan Pengubahan Vinaya
Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai kesucian jika latihan yang dijalankan tak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Sang Buddha. Atau dengan kata lain, ajaran pada Mahayana bukan ajaran murni dari Sang Buddha, karena ada praktik yang tidak sesuai dengan ajaran. Mohon penjelasannya.
Danny, Tangerang
Terima kasih atas tanggapan yang telah disampaikan dan permasalahan yang memang harus dipertanyakan kembali. Seperti apa yang telah diuraikan dalam kitab Mahavamsa, Dipavamsa, Samantapasadika, Sumanggalavilasini dan sebagainya, pesamuan agung pertama telah dilaksanakan di gua Sattapanni yang dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai tingkat arahat, sewaktu pemerintahan Raja Ajatasattu.
Secara singkat pesamuan tersebut membahas Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Khusus mengenai Vinaya, para bhikkhu yang hadir dalam pesamuan tersebut telah mengambil keputusan untuk tidak mengubah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha dan telah mengambil komitmen untuk melaksanakannya. Demikian komitmen yang telah diambil dari Sthaviravada, yang mana pada akhirnya berkembang menjadi Theravada (paham para sesepuh).
Tetapi perlu dicatat disini bahwa sebenarnya Sang Buddha sendiri, dalam Mahaparinibbana Sutta telah mengatakan kepada para bhikkhu, terutama kepada Bhante Ananda bahwa peraturan-peraturan kecil yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha dapat diubah sesuai dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Namun, dalam pesamuan tersebut Bhante Ananda, sewaktu ditanya oleh Bhante Maha Kassapa Thera dengan jujur telah mengatakan bahwa beliau telah lupa untuk menanyakan kepada Sang Buddha, peraturan-peraturan mana yang merupakan ‘major rules‘ dan ‘minor rules‘. Seperti yang telah kita ketahui, terdapat beberapa kelompok aturan untuk para bhikkhu yang telah ditetapkan oleh sang Buddha, seperti Parajika, sanghadisesa, pacittiya, nesagiya pacittiya, aniyata dan sebagainya. Pada waktu itu tidak dapat diambil keputusan golongan peraturan yang mana bisa dikelompokkan ke dalam peraturan kecil dan sebaliknya. Sehingga dengan disemangati untuk menjaga kemurnian Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha, para bhikkhu yang hadir dalam pesamuan telah mengambil keputusan untuk tidak mengubah Dhamma Vinaya dari Sang Buddha dan tidak menambah aturan-auturan baru dalam Vinaya yang telah digariskan oleh Sang Buddha.
Perlu Anda ketahui bahwa kelompok yang menamakan Mahasangika yang menyelenggarakan konsili di daerah utara Vesali, tidak mempermasalahkan tentang Dhamma dari Sang Buddha, tetapi hanya mempermasalahkan tentang beberapa aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Kemungkinan besar para bhikkhu dri Vajji berpendapat bahwa ke 10 praktik yang telah mereka jalankan adalah praktik-praktik yang merupakan kelompok minor. Sehingga sesuai dengan interpretasi mereka hal-hal tersebut dapat diubah. Memang jika kita lihat sekilas ke sepuluh praktik yang telah dipraktikkan oleh para bhikkhu Vajji tidak sesuai dengan aturan pacittiya dan nesagiya pacittiya, tidak dengan kelompok aturan lainnya. Namun bahayanya jika para bhikkhu menginterpretasikan kelompok aturan yang lainnya adalah kelompok-kelompok peraturan kecil, nanti dikhawatirkan para bhikkhu tidak menjalankan aturan-aturan yang seharusnya dijalankan. seperti sekarang Anda bisa lihat sendiri kenyataanya banyak yang menamakan bhiksu tetapi mereka mempunyai keluarga, anak istri, cucu dan sebagainya. Oleh karena itu semuanya terserah kepada kita semua. Dalam pemikiran Anda jika kelompok Mahasangika melanggar sebagian dari peraturan vinaya apakah bisa mencapai tingkat kesucian?
Sebenarnya, semua aturan yang tertulis dalam Vinaya telah ditetapkan oleh Sang Buddha agar para bhikkhu mempunyai pengendalian diri yang kuat untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi (Nibbana). Jadi pada awalnya, sewaktu para bhikkhu secara internal sangat berdisiplin, mereka tidak memerlukan aturan-aturan, tetapi setelah sebagian para bhikkhu melaksanakan hal-hal yang menghambat untuk mencapai kesucian, maka beberapa peraturan telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Jadi peraturan-peraturan yang tertulis dalam vinaya, dapat diibaratkan sebagai pagar yang berguna untuk melindungi para bhikkhu dari kemerosotan. Tentunya pagar tersebut tidak berguna bagi orang yang telah mencapai tingkat kesucian, karena secara internal (dari dalam) mereka sudah disiplin. Tetapi berbeda sekali dengan orang awam (puthujjana) yang memerlukan pagar untuk melindungi diri kita dari gangguan. Vinaya dan Dhamma dapat diibaratkan pagar dan jalan. Jika kita sudah meletakkan pagar yang kuat di pinggir jalan, maka kita mempunyai kewajiban untuk menggunakan jalan tersebut untuk mencapai tujuan, tidak melekat pada pagar yang ada.
Jadi, pada prinsipnya kita harus berjalan pada Dhamma (jalan) untuk mencapai tingkat kesucian. Pada kenyataannya terdapat beberapa orang yang berjalan di jalan yang tak berpagar atau tidak dipagari dengan kuat, tetapi berhasil mencapai tujuan. Tentunya orang-orang tersebut sudah tahu betul tujuan yang akan dicapai dan sudah tahu betul medan yang akan ditempuh. Demikian juga dalam hal pencapaian kesucian, jika seseorang memang betul-betul bertekad untuk mencapai tingkat kesucian dan sudah mengetahui dengan jelas jalan yang akan ditempuh, maka tidak memerlukan pagar-pagar yang kuat. Tetapi kita semua sadar bahwa semua manusia yang masih putthujjana memiliki lobha (keserakahan), dosa (kebencian), moha (kebodohan) dan sifat-sifat jelek yang lain, sehingga pada prinsipnya orang yang bertekad untuk potong kompas mencapai tingkat kesucian (para rohaniwan/bhikkhu) seharusnya memiliki pagar yang kuat dan mempraktikkan Dhamma sebagai jalan untuk mencapai pembebasan. Sebenarnya aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha bukan ditujukan untuk mengikat dan memberi beban kepada para bhikkhu, tetapi lebih ditujukan untuk menjaga agar para bhikkhu tidak terpeleset ke jalan yang salah.
Demikian penjelasan saya tentang pelaksanaan vinaya. Dari sedikit keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bagi para bhikkhu yang memagari dirinya dengan aturan-aturan vinaya yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha dan mempraktikkan Dhamma dengan sempurna maka mereka akan lebih aman dan lebih cepat untuk mencapai kesucian dan sebaliknya. Sebenarnya disini kita tidak mempermasalahkan keaslian atau kemurnian ajaran dari Mahayana. Perlu adik ketahui bahwa jika kita bicara mengenai Mahayana, kita seperti membicarakan lautan atau samudra yang luas. Sekte-sekte yang termasuk dalam Mahayana adalah sangat banyak dan dikarenakan banyaknya sekte yang ada maka kita tidak bisa menyamaratakan / menganggap semuanya sama. Meskipun konsili kedua merupakan awal dari perpecahan sekte dalam Agama Buddha (Sthaviravada dan Mahasangika), tetapi pada waktu itu yang menjadi masalah adalah sedikit perbedaan tentang aturan-aturan vinaya, tidak dalam hal Dhamma. Boleh dikatakan dari aliran Sthaviravada (cikal bakal Theravada) yang berkeinginan memakai baju cukup ketat dan tidak mau menerima kelonggaran, sebaliknya Mahasanghika (cikal bakal Mahayana) yang ingin memakai baju yang agak longgar (asalkan tidak kedodoran).
Pada kenyataannya, sekarang dapat kita lihat tentang aturan makan, cara memakai jubah, bentuk jubah dsb. memiiki beberapa perbedaan. Sementara para bhikkhu dari golongan Theravada kelihatan kuno (orthodoks) dan para bhikkhu dari golongan lain kelihatan agak mengikuti perkembangan jaman. Tetapi jika kita melihat beberapa aliran dalam sekte Mahayana, baik dilihat dari aturan vinaya dan Dhamma yang mereka miliki tidak jauh berbeda dengan yang tertulis dalam bahasa Pali. Jadi, dalam hal ini sangatlah tidak bijaksana jika kita mengatakan bahwa sekte yang lain tidak murni atau bukan ajaran Sang Buddha. Dalam hal ini saya hanya menyampaikan sejarah yang ada, sesuai dengan sumber-sumber yang ada, terutama dalam bahasa Pali. Tentunya semuanya tergantung dari pandangan dan keyakinan yang kita miliki.
Alangkah baiknya jika kita mempelajari sejarah perkembangan Agama Buddha yang berkembang ke utara, seperti ke Khotan, Turfan, Tunhuang China, Korea, dan Jepang dan Agama Buddha yang berkembang ke Selatan, seperti Sri Lanka, Myanmar, Thailand dan sebagainya; sehingga kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas sebelum kita mempelajari perbedaan dan persamaan antara Theravada dan Mahayana.
Mudah-mudahan kita bisa kontak lagi untuk membahas Dhamma lebih lanjut. Terimakasih.