Seputar Penggunaan Ungkapan "Namo Buddhaya"
Sebagai seorang umat Buddha, kita tentu akrab dengan ungkapan
"Namo Buddhaya". Saat ini, kita mengenalnya sebagai
salam yang diucapkan bila bertemu dengan sesama umat Buddha.
Ungkapan itu juga sering dipakai sebelum pandita atau pemberi
Dhammadesana memulai pembabaran Dhamma. Apakah memang "Namo
Buddhaya" merupakan sebuah 'salam resmi'-nya umat Buddha?
Sejak kapan? Berasal dari mana? Apa artinya?
Semua pertanyaan mengenai asal usul penggunaan ungkapan "Namo
Buddhaya" mudah-mudahan bisa terjawab dengan penjelasan
singkat dari Y.M. Uttamo Thera, Y.M. Bhikkhu Dhammadiro, dan
Selamat Rodjali di bawah ini.
Y.M. Uttamo Thera:
Arti "Namo Buddhaya" adalah 'Terpujilah semua Buddha'.
Hal ini adalah merupakan suatu ajakan kita kepada orang lain
untuk memuji para Buddha. Saat ini, ajakan memuji ini dijadikan
sebagai salam Buddhis.
Y.M. Bhikkhu Dhammadiro:
Kata 'Namo Buddhâya' adalah suatu kalimat yang diucapkan
oleh mereka yang menaruh hormat dan yakin pada Sang Buddha
(artinya bukan sabda Buddha sendiri). Dan tidak ada dijumpai
dalam Tipitaka. Dalam tingkat Atthakathâ pun kata ini
mungkin belum populer, terbukti dengan tidak tercantumkannya
di dalamnya. Kata ini baru disebut-sebut dalam kitab penjelasan
tatabahasa Pâli (Saddanîti-pakarana) yang disusun
di
Srilanka kira-kira seribu tahun yang lalu (ini hanya perkiraan
secara kasaran, saya tidak bisa memastikan waktunya. Di sini,
yang saya
maksudkan adalah penggubahan kitab itu dilakukan jauh setelah
disusunnya kitab Atthakathâ dan Kitab Tatabahasa Pâli
era awal).
Sementara itu, ada bentuk kalimat yang lain dari kalimat
tersebut, yakni: "Namo Buddhassa". Kalimat ini memang
telah ada sejak jaman Atthakathâ. Dan, tradisi Theravâda
di Burma lebih banyak menggunakan kata ini daripada kata "Namo
Buddhâya". Lebih dari itu, baik kata "Namo
Buddhâya" maupun "Namo Buddhassa" tidak
umum dipakai dalam tradisi Theravâda di Thai.
Selamat Rodjali:
"Namo Buddhaya" bukanlah salam, tetapi ungkapan
penghormatan seseorang kepada Buddha. Artinya adalah Terpujilah
Buddha (yang telah merealisasi pencerahan Agung). Ungkapan
ini amat umumnya diucapkan sebelum membabarkan Dhamma atau
tulisan Dhamma. Di Indonesia, umat Buddha sering mengucapkannya
sebagai salam Buddhis. Jadi sungguh sangat salah kaprah dan
keluar dari makna sesungguhnya.
Saya pun seringkali memulai tulisan kepada teman Buddhist,
dengan kata "Namo Buddhaya", tapi bukan sebagai
salam, melainkan sebagai ungkapan penghormatan kepada Buddha,
dan diharapkan menginspirasikan kualitas Buddha kepada teman
yang saya tulisi.
Mengapa tidak menggunakan "Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhasa" saja? "Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhasa", pertama kali diucapkan bukan oleh
Buddha, tapi oleh Brahmana yang mengagumi Sang Buddha saat
itu, dan kita menirunya. "Namo Buddhaya", dipakai
oleh beberapa orang Buddhist di Burma dan Sri Lanka, dan kita
menirunya. Yang jelas semuanya itu secara ke-bahasa-an tidak
salah, bedanya, "Namo Buddhaya" tak pernah ada di
Tipitaka, sedangkan yang pertama ada.
Penggunaan istilah "Namo Buddhaya" di Indonesia,
dimulai dari para muridnya Ashin Jinarakkhita ketika masih
belum ada Buddhayana, sedangkan Ashin Jinarakkhita sendiri
pada mulanya juga menggunakan "Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhasa".
Kirim Artikel ini ke Teman Anda!
|