Perjalanan
Agama Buddha di Indonesia 672-1995
(bagian kedua)
Pada
tahun 1959 Y.M. Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia
disertai 12 orang Bhikkhu senior dari beberapa negara, yaitu:
- H.E.
Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
- Ven.
Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
- Ven.
Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
- Ven.
Narada Mahathera dari Sri Lanka.
- Ven.
Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
- Ven.
Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
- Ven.
Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
- Ven.
Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
- Ven.
Ransegoda Sarapala Thera dari Sri Lanka.
- Ven.
Phra Visal Samanagun dari Thailand.
- Ven.
Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
- Ven.
Phra Kru Champirat Threra dari Thailand.
- Ven.
Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal
21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan
menjadi Bhikkhu di "International Sima" di Kassap, Semarang
oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan
nama Jinaputta. Pada hari yang sama I Ktut Tangkas (dari Mengwi,
Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan Sontomihardjo
(dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal 3 Juni
1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi
bhikkhu (pada tanggal 12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh Ven.
Narada Mahathera. Tanggal 26 Juli 1988 ia ditahbiskan kembali
di Wat Bovoranives, Bangkok dan diberi nama Thitaketuko.
Antara
1963 sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan
di kalangan pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan
organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu
dengan yang lain saling menjatuhkan.
Pada
15 November 1966, Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja
Bali) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok
oleh Ven. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi
Girirakkhito. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera
Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976
ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas jubah,
dan kembali menjadi umat Buddha biasa). Selanjutnya pada tahun
1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan manjadi Bhikkhu di Sri
Lanka dan diberi nama Sumanggalo (meninggal di Belanda pada
2 September 1987).
Pada
14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri
Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum
Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Di
tahun 1969 datanglah Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari
Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok,
ia mengirim, melalui Y.M. Bhikkhu Jinaratana, buku-buku bagian
dari Kitab Suci Tipitaka dalam Bahasa Pali dan Inggris dan
patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di
Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang,
Samarinda, Palembang, Jambi, dan tempat-tempat lainnya.
Selain
candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi
candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra.
Tetapi yang paling besar dan paling indah adalah Candi Borobudur.
Setelah Raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali
diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama
Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang
terus berdampingan dengan rukun dan damai.
Pada
tahun itu juga datang di Indonesia empat orang Dhammaduta
dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di
Indonesia. Mereka adalah Ven. Phra Kru Pallad Attachariya
Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn),
Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen Khemadas,
dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.
Tahun
1969 juga, untuk pertamakalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta
mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Dua tahun
kemudian terbentuklah Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang
perayaan Waisak tahun 1971, datang rombongan Bhikkhu dari
Thailand untuk meresmikan Brahma-Vihara yang terletak di Banjar,
Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari Ven. Chau
Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit, Ven. Chau
Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket, Ven. Chau Kun Phra
Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae, dan Ven. DR.
Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada
12 Januari 1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari
Y.M. Bhikkhu Jinapiya, Y.M. Bhikkhu Girirakkhito, Y.M. Bhikkhu
Jinaratana, Y.M. Bhikkhu Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato.
Tanggal
28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh
organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan
nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI). Di samping itu, berdiri
juga sebuah Majelis yang diberi nama Majelis Buddha Dharma
Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan Agama Buddha di Indonesia.
Ketujuh organisasi yang menandatangani ikrar tersebut di atas
adalah:
- Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI),
- Buddhis Indonesia,
- Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI),
- Gabungan Tri Dharma Indonesia,
- Persaudaraan Umat Buddha Salatiga,
- Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan
- Dewan Vihara Indonesia.
Perlu
diketahui, Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama
Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak
meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas
prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, pada tahun 1974 terbentuk
Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada
23 Juli 1975 alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa
Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya
kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada
12-14 Maret 1976 diselenggarakan Pasamuan ke-I Majelis Buddha
Dharma Indonesia di Lawang. Pasamuan itu berhasil membuat
beberapa ketetapan mengenai berbagai aspek Agama Buddha di
Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga terbentuk Badan Pekerja
Majelis Buddha Dharma Indonesia.
<<Sebelumnya<<
|| >>Selanjutnya>>
|