Perjalanan Agama Buddha di Indonesia 672-1995
(bagian ketiga)
Tanggal
29 September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia
(GUBSI) dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH.,
dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan
umat dari tujuh organisasi, yaitu:
- Buddha Dharma Indonesia (BUDHI),
- Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI),
- Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia,
- Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia,
- Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI),
- Pamong Umat Buddha Kasogatan,
- Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada
tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita
Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana
Karbono dan Wakil Sekjen MPU (alm.) Sumedha Widyadharma.
Tanggal
11 Oktober 1976 terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI)
sebagai forum konsultasi dari Majelis-majelis Agama Buddha
yang ada, yaitu Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI),
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI). Majelis
Buddha Dharma Indonesia. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI).
Majelis Kasogatan. Nichiren Shoshu. Perhimpunan Tempat Ibadah
Tri Dharma (PTITD).
Tanggal
23 Oktober 1976 merupakan tanggal yang bersejarah bagi Agama
Buddha mazhab Theravada di Indonesia. Karena pada hari itu
berdirilah Sangha Theravada Indonesia di Vihara Maha Dhammaloka,
Semarang (sekarang Vihara Tanah Putih). Para Bhikkhu yang
tercatat sebagai pendirinya adalah Y.M. Bhikkhu Aggabalo,
Y.M. Bhikkhu Khemasarano (alm.), Y.M. Bhikkhu Suddhammo (alm.),
Y.M. Bhikkhu Khemiyo, dan Y.M. Bhikkhu Nanavuttho.
Pada
7 - 8 Mei 1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di
Yogyakarta dan terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia
(WALUBI) sebagai wadah tunggal umat Buddha di Indonesia dengan
Suparto Hs. Sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah Suwarto
Kolopaking, S.H., Ir. T. Soekarno, Gunawan Sindhumarto, S.H.,
Drs. Oka Diputhera, Bhaggadewa Siddharta, Herman S. Endro,
S.H., dan Hartanto Kulle.
Tanggal
9 Maret 1981 dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakkha Jaya dengan
Ketuanya adalah (alm.) Bapak O. P. Koesno dan sebagai Sekretaris
diangkatlah (alm.) Drs. Teja S. M. Rashid .
Pada
8 - 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang
dibuka oleh Presiden Soeharto.
Pengukuhan
Uposathagara yang terletak di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya,
Jakarta dilakukan pada 24 Agustus 1985. Upacara dipimpin oleh
Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, Thailand
yang datang bersama lebih dari sepuluh orang Bhikkhu dari
Thailand. Yang juga banyak perannya dalam pembangunan Uposathagara
tersebut adalah Phra Sombat Pavito Thera (juga dari Thailand).
Dengan adanya Uposathagara tersebut, maka para calon Bhikkhu
dari Indonesia tidak perlu lagi harus ke Thailand untuk ditahbiskan.
Maka, untuk pertama kalinya, tepatnya pada 6 Desember 1987,
Uposathagara itu dipergunakan untuk menahbiskan tiga orang
Bhikkhu Indonesia dengan Y.M. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya.
Tiga orang Bhikkhu adalah Y.M. Bhikkhu Jagaro, Y.M. Bhikkhu
Gandhako (alm.), dan Y.M. Bhikkhu Khantidharo.
Sidang
Khusus Widyeka Sabha WALUBI pada 8 Juli 1987 dan Sidang DPP
WALUBI (9-10 Juli 1987) menjadi sidang-sidang yang penting.
Karena melalui sidang-sidang itu, Widyeka Sabha WALUBI mengambil
keputusan bulat mengenai NSI (Nichiren Syosyu Indonesia) dengan
tidak mengakuinya sebagai sebuah Majelis Agama Buddha di Indonesia.
Dasar yang dipakai antara lain, NSI ternyata berisi ajaran
dan doktrin yang menyimpang/menyeleweng dari Agama Buddha
yang berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka secara
utuh terpadu sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gautama/Sakyamuni.
Keputusan ini kemudian dilaksanakan oleh DPP WALUBI dengan
mengeluarkan NSI dari keanggotaan WALUBI melalui Pernyataan
DPP WALUBI No.01/DPP/WALUBI/87. Setelah peristiwa itu, WALUBI
terdiri dari 3 (tiga) Sangha dan 6 (enam) Majelis Agama Buddha.
Pada
Juli 1991 Sangha Theravãda Indonesia (STI) menyerahkan
upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat
Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta.
Ketiganya adalah Sumedha Widyadharma mendapat gelar SASANA
CARIYA, (alm.) Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA, dan
Visakha Hartati Tjakra Murdaya mendapat gelar SASANA PALA.
Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi
saat itu dan juga yang pertama kali diberikan oleh STI.
Mulai
1993 sampai dengan 1994 kembali terjadi kemelut di dalam tubuh
WALUBI. Kemelut kali ini berakhir dengan diberhentikannya
Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia dari
keanggotaan WALUBI pada 15 Oktober 1994.
Pada
12 Juli 1994 untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto (saat
itu) dan (alm.) Ny. Tien Soeharto bersedia menghadiri Dharmasanti
Waisak 2538/1994 di Jakarta Hilton Convention Centre bersama
dengan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan Ny. Tuti Try Sutrisno
serta sejumlah menteri.
Pada
18 Agustus 1994 dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi
nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan
Siti Hartati Murdaya, MBA sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka
Diputhera sebagai Sekjen.
Tanggal
2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Mungkid, Jawa Tengah,
Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan
kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma
Indonesia (MAPANBUDHI, sekarang Magabudhi -red). Penghargaan
itu diberikan karena pengabdian terus menerus disertai dedikasi
yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut
aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di Indonesia. Mereka
adalah Drs. Teja S. Mochtar Rashid (mendapat gelar DHAMMA
VISARADA), Herman Satriyo Endro, S.H. (DHAMMA LANKARA), dan
dr. R. Surya Widya (SASANA DHAJA).
<<Sebelumnya<<
Disarikan,
diedit, dan dikembangkan seperlunya oleh Chandadhammo
Benny Chandra dari buku: Agama Buddha dan Perkembangannya
di Indonesia, Sumedha Widyadharma, P.C Mapanbudhi
Tangerang, Cetakan kelima, 1995.
Diketik
kembali oleh Djulita.
|